Habis Manis Sepah Dibuang



Prestasi Lalu Muhammad Zohri merupakan interupsi khas olahraga paling heboh di negeri ini ketika pusat perhatian sedang tertuju ke pesta Piala Dunia 2018 di Rusia. Pelari nomor bergengsi 100 meter asal Nusa Tenggara Barat itu meraih juara dunia di bawah usia 20 tahun pada Kejuaraan IAAF di Tempere, Finlandia, Rabu 11 Juli 2018.

Zohri mencatat waktu 10,18 detik untuk mendapatkan medali emas. Anak dari keluarga miskin ini mengalahkan favorit juara, pelari Amerika Serikat Anthony Schwartz yang merupakan pemegang rekor dunia nomor ini dengan catatan waktu 10,9 detik pada 2 Juni 2018 lalu.

Prestasi Zohri memang mengejutkan. Untuk pertama kali atlet atletik Indonesia meraih juara dunia. Kalau di cabang olahraga lain sudah ada juara dunia asal Indonesia. Sebut misalnya bulutangkis, tinju, angkat besi, pencaksilat dan kempo. Tapi atletik baru kali ini dan juara nomor 100 meter. Manusia tercepat dunia. Itulah sebabnya nama Zohri langsung populer.

Zohri sebenarnya sudah menjadi juara Asia, Dia merebut medali emas pada kejuaraan atletik junior Asia di Stadion Gifu Nagaragawa, Jepang, 8 Juni 2018. Kala itu dia membukukan waktu 10,27 detik. Namun, prestasi Zohri di Jepang sepi dari pemberitaan. Tidak dianggap sama sekali.

Mengenai prestasi Lalu Muhammad Zohri, beta mengutip kembali ulasan bernas seniorku di organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Asro Kamal Rokan “Ketika Zohri berhasil, pemerintah gegap gempita menyambutnya. Negara tiba-tiba hadir,” tulis Asro Kamal Rokan sebagaimana dipublikasikan Ceknricek.com.

Tidak banyak yang tahu Zohri nyaris batal berangkat ke Finlandia karena kesulitan biaya dan tidak memperoleh visa. Bob Hasan, Ketua Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI) mendengar informasi miris ini. Bob menanggung semua biaya sehingga Zohri bisa berangkat tanpa dukungan pemerintah. Pusat dan daerah!

Nah, ketika Zohri sukses pemerintah menyambut hangat. Para pejabat dari level kepala kampung sampai kepala negara sontak hadir memberi perhatian. Perhatian makin dalam setelah media massa mengungkap kehidupan Zohri.

Atlet kelahiran 1 Juli 2000 di Dusun Karang Pangsor, Kabupaten Lombok Utara, NTB ini lahir dari keluarga papa. Rumahnya kecil berlantai tanah. Kamar Zohri berdinding bambu, ditempeli koran bekas untuk menutup lubang di berbagai tempat. Kemiskinan mendera keluarga nelayan ini sejak kecil. Ayah dan ibunya telah tiada.

Rumah buruk Zohri segera berubah wajah. Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia (REI) memberikan sebuah rumah. Presiden Joko Widodo menginstruksikan pula Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat merenovasi rumah Zohri. Tentu baik adanya sebagai apresiasi untuk Zohri.

Mendadak populer dan banjir hadiah bisa jadi madu dan racun bagi Zohri. Derajat ekonominya mungkin membaik. Tapi usianya masih muda. Sanjungan bisa menambah semangat untuk berprestasi tapi bisa pula melenakannya. Seperti pisau bermata dua. Salah atur langkah nama Zohri akan meredup dalam sekejap.

Dan, kalau Zohri tidak lagi meraih prestasi pada hari-hari mendatang maka nasibnya akan sama dengan atlet lainnya. Dilupakan! Sudah terlalu banyak contoh di negeri ini betapa atlet hebat hidupnya merana setelah masa kejayaannya berakhir. Ironi selalu menyertai jagat olahraga kita. Nasib mantan atlet seperti habis manis sepah dibuang.

Abangku Asro Kamal Rokan melukiskan secara tepat untuk kita renungkan. Beta kutip kembali kata-katanya bagi tuan dan puan. “Kehidupan para atlet membawa nama negara. Nasibnya tidak seberuntung para politisi. Dipilih dengan dana rakyat dan ketika menjabat mengambil uang rakyat. Negara ini lebih tertarik mengeluarkan dana triliunan rupiah untuk mendapatkan politisi daripada membiayai atlet-atlet hebat, para peneliti dan anak-anak berbakat.”

Maka untuk adinda Zohri yang kami kasihi, tak ada jalan pintas. Tetaplah berlatih agar dirimu berlari lebih cepat. Atletik selalu terukur. Hadiah dan banjir pujian itu sifatnya hanya sementara. Cetaklah terus rekor keabadian.

Baca sumber